Genba - Genbutsu - Genjitsu

Genba - Genbutsu - Genjitsu

Genba-Shopfloor Management

Dalam istilah Jepang shopfloor disebut „gemba“ artinya tempat kerja, tempat dimana proses kerja dilakukan/diselenggarakan.

Dalam istilah Jepang shopfloor management yang biasa dikenal dengan “ genba kanri” merupakan suatu system management yang sistematis dalam menjalankan operasional kerja yang terkontrol dan tervisualisasi. Melalui sistem identifikasi permasalahan yang terintegrasi dengan menekankan pengambilan keputusan terhadap permasalahan yang tibul di tenpat kejadian yang sebenarnya sebagai langkah awal dalam melakukan proses perbaikan yang berbasis kaizen.

Ada tiga fondasi shop floor management yang dikenal dengan “3 Real” yaitu real place atau shop floor(genba), real thing (genbutsu) dan realfact (Genjitsu).

(1) Real place ( Genba) : merupakan tempat dimana action dilaksanakan dan selalu berpotensi mendapatkan peluang untuk selalu dialakukan perbaikan dalam mencapai standar yang dinginkan.

(2) Real thing (Genbutsu) : ini dapat diartikan dengan produk, mesin atau material. Jika terdapat permasalah yang terkait dengan elemen produksi dilapangan maka kita membutuhkan “real thing” dengan melakukan pengecekan lansung ke area shop floor untuk memahami lebih lanjut apa yang sesungguhnya terjadi untuk melakukan penanggulanagan dan penyelesaian masalah. Sudah merupakan suatu cirri khas dalam konsep management Jepang bahwa setiap penyelesaian masalah di lakukan diarea shop floor dimana permasahan terjadi, bukan dari kejauhan ataupun ruang rapat atau ruang pimpinan.

(3) Real facts (genjitsu) : Ketika melakukan kunjungan ke tempat kejadian yang sebenarnya, diharuskan untuk melakukan pengecekan dengan didukung data yang akurat dan menggunakan konsep pertanyaan “mengapa/why” untuk mengidentifikasi penyebab potensial sebagai akar permasalahan yang sebenarnya.

Masaaki Imai seoarang pionir TPS (Toyota Production System) mengatakan ada lima aturan dari apa yang disebutnya Gemba/shop floor manajemen:

Ketika masalah muncul, pergilah ke genba (shop floor).

• Periksa genbutsu cari tahu dan lihat kejadian yang sebnarnya

Lakukan langkah penanggulanagan sementara.

• Cari/identifikasi akar penyebab dari masalah yang muncul.

Dalam konteks manajemen operasioanalnya, elemen shopfloor manajement mencakup ; Envision , teach people, transparency dan visualisasi, komunikasi, problem solving, standard process control dan kaizen (Continuous Improvement).

Thursday, April 26, 2012

KAIZEN : Usaha tiada henti agar lebih baik

Dewasa ini, ditengah krisis global dan sengitnya kompetisi bisnis dunia maupun lokal, para pelaku organisasi industri maupun organisasi pemerintahan ditantang untuk senantiasa melakukan peningkatan produktivitas. Salah satu indikator yang telah menjadi kunci kesuksesan perusahaan Jepang dalam persaingan industri maupun kehidupan oragnaisi pemerintahan, adalah penerapan Kaizen (Continuous Improvement) dalam pengelolaan proses di tempat kerja (Gemba).


Banyaknya perusahaan barat yang mengirim orangnya untuk mempelajari bagaimana implementasi kaizen yang sebenarnya di negeri matahari tersebut, mengindikasikan betapa pentingnya system ini dalam mengeliminasi permasalahan subtansial terkait dengan keinginan untuk mengurangi pemborosan yang memiliki konsekwensi logis terhadap biaya operasi maupun hal-hal yang tidak efisien dalam menjalankan aktifitasnya.

Kaizen telah mejadi bagian dalam budaya dan manajemen Jepang dan penerapannya telah mendunia dalam kontks mamagement global yang modern. Istilah “kaizen” berasal dari kata “KAI” yang berarti “perubahan” dan “ZEN” yang berarti “lebih baik”. Jadi pengertian KAIZEN secara sederhana adalah usaha perbaikan yang berkelanjutan atau terus menerus dengan melibatkan semua orang dari level manapun, untuk selalu lebih baik dari kondisi sekarang.

Kaizen bukan saja sebagai suatu sistem kerja, tapi juga sudah merupakan kultur kerja yang mengakar bahkan telah menjadi falsafah hidup yang bersumber dari budaya leluhur bangsa yang juga dikenal dengan negeri matahari tersebut.  Sebagai suatu falsafah hidup masyarakatnya maka pemahaman dan implentasi kaizen tidak saja diamalkan dalam kehidupan kerja, akan tetapi juga dalam kehidupan sosial, kehidupan rumahtangga, yang mengarahkan agar selalu berfokus pada upaya perbaikan terus menerus dan bertahap, sekecil apapun perbaikan itu pasti akan berguna.

Sasaran utama kaizen adalah memerangi 7 pemborosan (7 waste) yang dalam bahasa Jepang dikenal dengan “muda”  yang tidak memberikan nilai tambah (value added) suatu produk/jasa baik dalam perpektif produsen maupun konsumen. Ke-tujuh pemborosan tersebut mencakup yaitu :
-         Produksi yang berlebihan (over production)
-         Persediaan yang berlebihan (over inventory)
-         Pemborosan gerak kerja (motion)
-         Pemborosan pemrosesan (over processing)
-         Pemborosan waktu tunggu dan penundaan (waiting)
-         Pemborosan tranportasi (transportation)
-         Pemborosan proses berulang karena masalah qualitas (rework)

Sejalan dengan tujuan kaize, pemborosan diatas perlu dieliminir karena menimbulkan biaya yang tinggi yang mempengaru pencapaian profit secara optimal. Dalam tatanan bisnis jepang, kaizen dilakukan dengan melibatkan setiap karyawan yang terdiri dari berbagai level dari operator, mandor(foreman), supervisor, karyawan (staff), manager bahkan direktur sepegai pemegang kendali tertinggi. Pelaksanaannya dilakukan melalui 2 pilar pendekatan yaitu pertama adalah dengan QCC/QPP (Quality Control Circle/Project) dan yang kedua dengan Sistem Saran (suggestion system).

Kedua pilar tersebut diatas akan tumbuh dan membudaya dalam lingkungan suatu perusahaan jika adanya dukungan dan komitment penuh dari jajaran manajemen puncak. Kaizen adalah wadah yang efektif dalam mengidentifikasi setiap masalah yang ada karena dibangun diatas fondasi pemahaman bahwa masalah adalah kumpulan segala suatu yang berharga dan menempatkan manusia sebagai pencari masalah bukan pembuat masalah.

No comments:

Post a Comment